Sabtu, 19 Maret 2011

makalah perbedaan komunikasi antar daerah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Komunikasi antar daerah terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam keba­nyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non­verbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.
Pentingnya komunikasi antar daerah dikarenakan interaksi sosial keseharian ki­ta itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing se­ring mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. 
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan peng­alaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de­ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bah­wa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khu­sus­nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cen­derung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki peng­alaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antar daerah ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat.

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bentuk komunikasi antar daerah dan antar budaya
2.      Untuk mengetahui factor-faktor yang mengakibatkan komunikasi tidak berjalaan dengan lancar
3.      Untuk mengetahui perbedaan komunikasin di setiap daerah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Komunikasi antar Budaya
Adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya.
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.      Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan
2.      Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama
3.      Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita

B.     Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya
Secara umum komunikasi antarbudaya terdiri dari atas empat variasi, yaitu interracial communication: interpretasi dan berbagi makna antara orang-orang yang berasal dari ras yang berbeda, interethnic communication: interaksi antara orang-orang yang berasal dari etnis yang berbeda, international communication: komunikasi antara orang-orang yang mewakili negara yang berbeda, dan intracultural communication: interaksi antara anggota dari kelompok ras dan etnis yang berbeda (sub-culture) tetapi berasal dari induk budaya yang sama. Komunikasi antarbudaya juga bermakna ”communication between people who live in the same country but come from different cultural background.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan bentuk komunikasi multidemensi dari interaksi antara orang-orang yang berasal dari negara, etnis, ras, dan kelompok budaya lainnya yang berbeda.
Elemen komunikasi antarbudaya berasal dari elemen dasar komunikasi secara umum. Proses komunikasi yang dijalankan manusia terdiri atas tujuh elemen dasar, yaitu komunikator, pesan, komunikan, umpan balik, media, konteks, dan gangguan.
a.      Komunikator
Komunikator adalah pihak yang pertama kali berperan untuk menyampaikan pesan kepada pihak tertentu. Komunikator ini tentu saja mempunyai latar belakang etnis, ras, agama, atau kebudayaan tertentu. Latar belakang ini akan mempengaruhi prilaku berkomunikasi seseorang sehingga ketika proses komunikasi melibatkan komunikator dan komunikan yang berasal daru etnik yang berbeda, maka akan terjadi persepsi yang berbeda pula. Persepsi seseorang dalam berkomunikasi secara makro dipengaruhi oleh karateristik antarbudaya yang ditentukan oleh nilai dan norma yang menujuk ke arah mikro yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kepercayaan, minat dan kebiasaan. Faktor lain yang dapat yang juga berperan penting dalam keberhasilan proses komunikasi antarabudaya adalah kemampuan berbahasa, baik itu bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Seorang komunikator perlu memahami bagaimana memilih kosa kata tertentu yang tidak menyinggung perasaan komunikan yang berbeda etnis dengan komunikator. Pemahaman aksen dan bahasa tubuh juga akan berperan penting untuk membangun makna dalam komunikasi antarbudaya.

b. Pesan
Pesan adalah ide, gagasan atau perasaan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan untuk mencapai pemahaman. Dalam proses komunikasi antarbudaya, pesan berperan dalam membangun hubungan antara komunikator dan komunikan. Dengan kata lain, pesan mempertemukan garis persinggungan antara penyampai pesan dan penerima pesan yang berasal dari budaya yang berbeda. Pesan yang disampaikan oleh komunikan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang bisa dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal. Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator telah mempertimbangakan kepentingan komunikan, maka pesan itu akan dapat diterima secara baik sehingga komunikasi antarbudaya yang dilakukan akan mencapai pemahaman. Sebaliknya, jika pesan yang disampaikan tidak memperhatikan aspek perbedaan etnik, maka komunikasi yang dijalankan itu justru akan menghasilkan konflik atau permusuhan. Dalam komunikasi antarbudaya, pencapaian persepahaman antara etnik berbeda yang terlibat dalam komunikasi merupakan tujuan utama. Kegagalan membangun persepahaman akan mengakibatkan hubungan multietnik yang tidak harmonis dan bahkan dapat menimbulkan perpecahan.
c. Komunikan
Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan adalah pihak yang mencari makna atau menginterpretasikan pesan yang disampaikan untuk mencapai pemahaman. Dalam melakukan proses pemaknaan ini, komunikan sebagai seorang individu maupun kelompok akan ditentukan oleh persepsi mereka terhadap pesan yang disampaikan. Persepsi akan ditentukan pula oleh kondisi khas yang dimiliki oleh komunikan seperti pengalaman, kepercayaan dan faktor lainnya. Dalam komunikasi antarbudaya persepsi merupakan cara yang digunakan orang yang berasal dari etnik tertentu untuk memahami atau memberikan makna terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan dirinya dan hubungannya dengan etnik lain. Proses persepsi dan interpretasi bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya sebab proses ini dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas diri yang dimiliki oleh orang yang melakukan persepsi dan interpretasi terhadap suatu pesan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi adalah pengalaman, sikap dan prilaku, kemampuan berkomunikasi, konsep diri, kebudayaan, harapan, perasaan, dan keluarga.


C.    Dimensi Ragam Budaya
Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya an­tara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyak­nya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.

D.    Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan
Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyum­an, sentuhan, kontak mata, jarak yang de­kat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antar­personal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara ha­ngat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih ba­nyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.

E.      Individualisme dan Kolektivisme
Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua­nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Ti­mur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Ting­kat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempu­nyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif ku­rang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan ku­rang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai uta­ma dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk meng­ungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

F.      Feminin dan Maskulin
Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas femi­nin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada varia­si yang cukup banyak dari ne­gara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976).
Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan bu­daya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita dalam pe­kerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas te­rendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Ame­rika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30.

G.     Kesenjangan Kekuasaan
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mem­punyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang pa­ling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih ba­nyak belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001). Se­nyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau meng­hasilkan hubungan sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-IKK tinggi.

H.     Konteks Tinggi dan Rendah
Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “di­atur, eksplisit, dan disampai­kan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pe­san implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, se­nyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situa­si atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa dida­patkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer me­nun­tut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupa­kan budaya-bu­daya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eks­plisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bah­wa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan po­kok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).
            Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari bu­daya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang ku­rang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak da­pat merasakan komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari budaya KT meng­harap­kan lebih banyak komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR.



BAB III
PENUTUP

Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau menging­kari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa Setiap daerah mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara setiap daerah itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, ti­dak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena keba­nyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.
Dari sinilah tercermin bahwa karakteristik masing-masing budaya mempengaruhi proses berlangsungnya interaksi atau komunikasi. Karakter masing-masing budaya yang berbeda yang akan hidup berdampingan akan memberikan out put yang berbeda pula. Ketika komunikasi antar budaya berlangsung, persepsi masing-masing individu yang memiliki berbeda pemikiran, menimbulkan respon balik yang beragam. Ketika satu orang memberi stimulus atau informasi, belum tentu semua orang bisa memahami maksudnya yang ingin disampaikannya sama dengan apa yang ia pikirkan.
Ada stimulus yang disampaikan dengan hal-hal yang unik yaitu dengan bahasa-bahasa nonverbal, hal ini bisa disampaikan dengan adanya reaksi yang nampak dari mimik wajah seseorang yang sedang berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Jika seseorang berbicara walaupun dengan nada bercanda, akan tetapi kita bisa mlihat apa yang ingin ia sampaikan apah haanya senda gurau semata taukah serius, kita bisa mengetahuinya dengan ekspresi wajah yang ditampilkannya. Kadang bahasa nonverbal sesorang adalah hal yang sebenarnya ingin disampaikannya. Karena seseorang bisa saja mereka yansa pembicaraan, akan tetapi ia tidak akan bisa mereka yasa bahasa tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Depar­temen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday
Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press
Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications
Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan


Perbedaan Komunikasi Budaya antar Daerah

Makalah

Diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sosial dan Politik




Di susun oleh
Anggota kelompok V


STIKES  Payung Negeri
SI Keperawatan
2010-2011



Kata Pengantar

            Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melilmahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah  ini yang berjudul “Perbedaan Komunikasi Budaya antar Daerah”
            Penulisan karya tulis ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah Sosial dan Politik ( SOSPOL ). Adapun tujuan lainnya adalah berupaya untuk menambah pengetahuan kepada penulis dan para pembaca.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah mungkin selesai tanpa adanya bantuan dan bimbingan secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Penulis berdo’a semoga Allah membalas semua kebaikan, bantuan, dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.
            Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan informasi, ilmu, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
Pekanbaru, Oktober 2010

                                                                                                                       Penulis




Daftar Isi

Kata Pengantar……………………………………………………………………………….i
Bab I Pendahuluan
a.      Latar Belakang…………………………………………………………………………
b.      Tujuan Makalah………………………………………………………………………..
Bab II Pembahasan
a.      Komunikasi antar budaya…………………………………………………………….
b.      Dasar-dasar komunikasi antar budaya………………………………………………
c.       Dimensi ragam budaya………………………………………………………………..
d.      Keakraban dan kebebasan mengungkapkan perasaan……………………………..
e.       Individualisme dan kolektivisme………………………………………………………
f.       Feminin dan maskulin………………………………………………………………….
g.      Kesenjangan kekuasaan……………………………………………………………….
h.      Konteks tinggi dan rendah……………………………………………………………
Bab III Penutup
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar