Jumat, 01 April 2011

Caring dan Curing dalam keperawatan

A.     TEORI  CARING DALAM  KEPERAWATAN
Perawat merupakan salah satu profesi yang mulia. Betapa tidak, merawat pasien yang sedang sakit adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tak semua orang bisa memiliki kesabaran dalam melayani orang yang tengah menderita penyakit. Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang besar (Abdalati, 1989). Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) .
Caring merupakan fenomena universal yang berkaitan dengan cara seseorang berpikir, berperasaan dan bersikap ketika berhubungan dengan orang lain. Caring dalam keperawatan dipelajari dari berbagai macam filosofi dan perspektif etik .
Human care merupakan hal yang mendasar dalam teori caring. Menurut Pasquali dan Arnold (1989) serta Watson (1979), human care terdiri dari upaya untuk melindungi, meningkatkan, dan menjaga atau mengabdikan rasa kemanusiaan dengan membantu orang lain mencari arti dalam sakit, penderitaan, dan keberadaannya serta membantu orang lain untuk meningkatkan pengetahuan dan pengendalian diri .
Watson (1979) yang terkenal dengan Theory of Human Care, mempertegas bahwa caring sebagai jenis hubungan dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi pasien sebagai manusia, dengan demikian mempengaruhi kesanggupan pasien untuk sembuh .
Lebih lanjut Mayehoff memandang caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain bertumbuh dan mengaktualisasikan diri. Mayehoff juga memperkenalkan sifat-sifat caring seperti sabar, jujur, rendah hati. Sedangkan Sobel mendefinisikan caring sebagai suatu rasa peduli, hormat dan menghargai orang lain. Artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan-kesukaan seseorang dan bagaimana seseorang berpikir, bertindak dan berperasaan. Caring sebagai suatu moral imperative (bentuk moral) sehingga perawat harus terdiri dari orang-orang yang bermoral baik dan memiliki kepedulian terhadap kesehatan pasien, yang mempertahankan martabat dan menghargai pasien sebagai seorang manusia, bukan malah melakukan tindakan amoral pada saat melakukan tugas pendampingan perawatan. Caring juga sebagai suatu affect yang digambarkan sebagai suatu emosi, perasaan belas kasih atau empati terhadap pasien yang mendorong perawat untuk memberikan asuhan keperawatan bagi pasien. Dengan demikian perasaan tersebut harus ada dalam diri setiap perawat supaya mereka bisa merawat pasien .
Marriner dan Tomey (1994) menyatakan bahwa caring merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat etik dan filosofikal. Caring bukan semata-mata perilaku. Caringadalah cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan. Caring juga didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien (Carruth et all, 1999) Sikap caring diberikan melalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Caring menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial. Bersikap caring untuk klien dan bekerja bersama dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan. Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap caring sebagai media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs, 1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit caring .

B.    KONSEP CARING
Beberapa ahli merumuskan konsep caring dalam beberapa teori. Menurut Watson, ada tujuh asumsi yang mendasari konsep caring. Ketujuh asumsi tersebut adalah
1.    caring hanya akan efektif bila diperlihatkan dan dipraktekkan secara interpersonal,
2.    caring terdiri dari faktor karatif yang berasal dari kepuasan dalam membantu memenuhi kebutuhan manusia atau klien,
3.    caring yang efektif dapat meningkatkan kesehatan individu dan keluarga,
4.    caring merupakan respon yang diterima oleh seseorang tidak hanya saat itu saja namun juga mempengaruhi akan seperti apakah seseorang tersebut nantinya,
5.    lingkungan yang penuh caring sangat potensial untuk mendukung perkembangan seseorang dan mempengaruhi seseorang dalam memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri,
6.    caring lebih kompleks daripada curing, praktik caring memadukan antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dan membantu klien yang sakit,
7.    caring merupakan inti dari keperawatan (Julia,1995).

C.    FAKTOR KARATIF DARI KONSEP CARING
Watson juga menekankan dalam sikap caring ini harus tercermin sepuluh faktor karatif yang berasal dari perpaduan nilai-nilai humanistik dengan ilmu pengetahuan dasar. Faktor karatif membantu perawat untuk menghargai manusia dari dimensi pekerjaan perawat, kehidupan, dan dari pengalaman nyata berinteraksi dengan orang lain sehingga tercapai kepuasan dalam melayani dan membantu klien. Sepuluh faktor karatif tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Pembentukan sistem nilai humanistik dan altruistic.
Perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu, perawat juga memperlihatkan kemampuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada klien.
2.    Memberikan kepercayaan-harapan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan
3.    Menumbuhkan kesensitifan terhadap diri dan orang lain.
Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan klien, sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain.
4.    Mengembangkan hubungan saling percaya.
Perawat memberikan informasi dengan jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa yang dialami klien. Sehingga karakter yang diperlukan dalam faktor ini antara lain adalah kongruen, empati, dan kehangatan.
5.    Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien. Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien.
6.    Penggunaan sistematis metoda penyelesaian masalah untuk pengambilan keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien.
7.    Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien.
8.    Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang mendukung. Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien.
9.    Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manusiawi.
Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
10. Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomenologis agar pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seorang klien perlu dihadapkan pada pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri (Julia, 1995).
Dari kesepuluh faktor karatif tersebut, Watson merumuskan tiga faktor karatif yang menjadi filosofi dasar dari konsep caring. Tiga faktor karatif tersebut adalah: pembentukan sistem nilai humanistik danaltruistik, memberikan harapan dan kepercayaan, serta menumbuhkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain (Julia, 1995).
Kesepuluh faktor karatif di atas perlu selalu dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor karatif ini perawat juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum memahami orang lain (Nurahmah, 2006).
Sebagai seorang perawat, kemampuan care, core, dan cure harus dipadukan secara seimbang sehingga menghasilkan asuhan keperawatan yang optimal untuk klien. Lydia Hall mengemukakan perpaduan tiga aspek tersebut dalam teorinya. Care merupakan komponen penting yang berasal dari naluri seorang ibu. Core merupakan dasar dari ilmu sosial yang terdiri dari kemampuan terapeutik, dan kemampuan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Sedangkan cure merupakan dasar dari ilmu patologi dan terapeutik. Dalam memberikan asuhan keperawatan secara total kepada klien, maka ketiga unsur ini harus dipadukan (Julia, 1995).
Menurut Boykin dan Schoenhofer, pandangan seseorang terhadap caring dipengaruhi oleh dua hal yaitu persepsi tentang caring dan konsep perawat sebagai disiplin ilmu dan profesi. Kemampuan caringtumbuh di sepanjang hidup individu, namun tidak semua perilaku manusia mencerminkan caring (Julia, 1995).

Senin, 21 Maret 2011

Teori Hiraki Maslow adalah segitiga, kenapa segitiga ?

knapa segitiga?
itu karena dia (si Maslow) ingin meng-visualisasikan hasil penelitiannya dengan diagram, biar gampang dimengerti & di ingat.

pertama-tama kita bahas dulu apa "Maslow Theory"?

singkat-nya teori maslow meneliti tentang kebutuhan manusia berdasarkan ilmu psikologi.

kebutuhan tersebut dibagi dalam 5 tingkatan hirarki
1. fisiologis (physiological)
kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan2 fisik.
contoh: makan, minum, udara, buang air, sex, tidur, panas ketika kedinginan & dingin ketika kepanasan.
2. keamanan (security)
kebutuhan untuk merasa aman, sehingga dia bisa melakukan kegiatan sehari2 tanpa perasaan was2.
contoh: pekerjaan tetap, rumah yang jauh dari ancaman banjir, akses air, listrik & utilitas lain yang mudah, akses kesehatan & pendidikan yang baik, dll
3. rasa cinta/saling memiliki (love/belongings)
kebutuhan untuk memiliki hubungan sosial yang baik.
contoh: hub keluarga, hub pacar, hub persahabatan, dll
4. kebanggaan diri ( esteem)
kebutuhan untuk disegani, dihormati, dibanggai, di-iri-i, dll.
contoh: dibanggakan orangtua karena rajin belajar (wkwkwkw), dihormati karena punya mobil ferrari & rumah 10 tingkat, disegani karena terpilih jadi presiden, dll
5. aktualisasi diri (self-actualization)
yaitu kebutuhan seseorang untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri atau lingkungannya dengan kemampuannya yang terbaik. dalam tahap ini, orang tersebut melakukan sesuatu dengan sebaik2nya dalam menghadapi hal yang mudah maupun yang sulit, dan ketika dia menghadapi kesulitan, dia tidak akan merasa pusing/tersiksa secara psikologis. tetapi dia akan merasa terpacu dan berkerja lebih bersemangat.
contohnya: workaholic (sekedar contoh doang) ketika bekerja, anggota kerajaan (lady di) ketika melakukan kegiatan amal, dll

urutan dari 1 sampai 5 menunjukkan tinggkat kebutuhan dimana kebutuhan pertama harus dipenuhi sebelum dia dapat memenuhi kebutuhan sebelumnya
tetapi jika seseorang telah mencapai tingkat 5 dan sewaktu2 rumahnya kebakaran, maka dia harus kembali memenuhi kebutuhannya yang lebih rendah, yaitu dia harus membetulkan rumahnya dahulu, baru dia bisa melanjutkan memenuhi kebutuhannya di tingkat 5. karena tidak mungkin dia dapat bekerja dengan baik apabila dia tidak memiliki tempat untuk tidur, keluarganya menderita, dan hartanya hangus.

kembali ke pertanyaan "kenapa segitiga?"
itu untuk memvisualisasikan pemenuhan kebutuhan tersebut seperti gunung.
dalam segitiganya Marlow, kebutuhan 1 diletakkan di dasar, dan seterusnya hingga kebutuhan 5 diletakkan di puncak.
- dalam memenuhi kebutuhan tersebut, nomor 5 dianggap paling mudah dan nomor satu dianggap paling sulit, seperti mendaki gunung.
- untuk mencapai puncak kita harus mulai dari bawah, karena kebutuhan 2 tidak bisa kita penuhi sebelum kebutuhan 1 terpenuhi.

*sekedar info:
teori ini banyak ditentang karena menurut mereka teori ini banyak cacatnya.
karena teori ini tidak berlaku untuk setiap orang. misalnya pendeta budhis, dll.
sebenarnya teori ini hanya berlaku secara general dan tidak berlaku untuk orang2 yang psikologisnya rada2 aneh (alcoholic, workaholic, dll)

*sekedar info lagi:
sebelum meninggal marlow menambahkan 1 kebutuhan (needs) lagi kedalam hirarki kebutuhannya
kebutuhan ini diletakkan setelah memenuhi kebutuhan 5 (self-actualization)
kebutuhan ini disebut self-transcendence atau kebutuhan untuk melebihi segalanya.

Minggu, 20 Maret 2011

Kebutuhan dasar manusia menurut para ahli

PENDAPAT BEBERAPA AHLI TENTANG MODEL KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

Virginia Henderson 
Virginia Henderson (dalam Potter dan Perry, 1997) membagi kebutuhan dasar manusia ke dalam 14 komponen berikut:
1.    Bernapas secara normal.
2.    Makan dan minum yang cukup.
3.    Eliminasi (buang air besar dan kecil).
4.    Bergerak dan mempertahankan postur yang diinginkan.
5.    Tidur dan istirahat.
6.    Memilih pakaian yang tepat.
7.    Mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal dengan menycsuaikan pakaian yang dikenakan dan memodifIkasi lingkungan.
8.    Menjaga kebersihan diri dan penampilan.
9.    Menghindari bahaya dari lingkungan dan menghindari membahayakan orang lain.
10.Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi, kebutuhan, kekhawatiran, dan opini.
11. Beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.
12. Bekerja sedemikian rupa sebagai modal untuk membiayai kebutuhan hidup.
13. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi.
14.Belajar, mencmukan, atau memuaskan rasa ingin tahu yang mengarah pada perkembangan yang normal, kesehatan, dan penggunaan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Jean Waston 
Jean Waston membagi kebutuhan dasar manusia ke dalam 2 peringkat utama,
1.    kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah (lower order needs) dan
2.    kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi (higher order needs).

Abraham Maslow
Teori hierarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow (dalam Potter dan Perry, 1997) dapat dikembangkan untuk menjelaskan kebutuhan dasar manusia sebagai berikut:
1. Kebutuhan Fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar, oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual.
2.Kebutuhan rasa aman dan perlindungan: perlindungan fisik dan perlindungan psikologis.
- Perlindungan fisik, perlindungan atas ancaman terhadap tubuh atau hidup: Ancaman tersebut dapat berupa penyakit, kecelakaan, bahaya dan lingkungan, dan sebagainya. - Perlindungan psikologis, perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. Misalnya, kekhawatiran yang dialami seseorang ketika masuk sekolah pertama kali karena merasa terancam oleh keharusan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya.
3. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki, antara lain memberi dan menerima kasih sayang, mendapatkan kehangatan keluarga, memiliki sahabat, diterima oleh kelompok sosial, dan sebagainya.
4. Kebutuhan akan harga diri maupun perasaan dihargai oleh orang lain. Kebutuhan ini terkait dengan keinginan untuk mendapatkan kekuatan, meraih prestasi, rasa pcrcaya diri, dan kemerdekaan diri. Selain itu, orang juga memerlukan pengakuan dari orang lain.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan tertinggi dalam hierarki Maslow, berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain/lingkungan serta mcncapai potensi diri sepenuhnya.

Fisiologi resusitasi cairan

 

Cedera termal pada kulit bermanifestasi sebagai nekrosis koagulasi dengan trombosis mikrovaskular pada daerah-daerah yang kerusakannya paling dalam. Jaringan di sekitarnya biasanya mengalami luka bakar yang tidak terlalu parah, dengan stasis dan hiperemia yang batas-batasnya tidak jelas. Daerah yang berpotensi dapat diselamatkan ini, mendapat perfusi dari mikrosirkulasi yang mengalami kerusakan. Jika pasien dengan luka bakar yang luas tidak segera mendapat resusitasi cairan yang tepat, maka dapat terjadi syok akibat luka bakar dan bagian dari luka bakal yang cedera namun masih hidup, dan akan berlanjut menjadi nekrosis. Kinin, prostanoid, histamin, dan radikal oksigen tampaknya berperan penting dalam menentukan keparahan dari cedera jaringan. Ibuprofen dapat menyelamatkan pembuluh darah kulit dan mengurangi edema yang timbul dini setelah luka bakar.

Resusitasi cairan sangat memperkuat terbentuknya edema pada jaringan, baik yang mengalami luka bakar ataupun tidak. Edema ini tidaklah akan selalu berakibat buruk; jika pulih tidak akan meninggalkan kerusakan permanen. Cairan yang keluar dan ruangan intravaskular sangat menyerupai plasma, baik dalam hal kandungan proteinnya maupun elektrolit. Baxter dan Shires telah menunjukkan bahwa kehilangan natrium adalah sekitar 0,5-0,6 meq/kg berat badan/% permukaan tubuh yang terbakar. Hemolisis akut ditimbulkan oleh kerusakan langsung pada sel darah merah akibat panas. Aktivasi komplemen akibat luka bakar dan selanjutnya produksi radikal oksigen oleh neutrofil meningkatkan fragilitas osmotik dari sel darah merah, dan menyebabkan hemolisis berlangsung selama beberapa hari setelah cedera termal. Dalam 24 jam pertama setelah cedera, nilai hematokrit setinggi 70% relatif sering ditemukan pada orang muda yang sebelumnya sehat.
Peningkatan dalam permeabilitas kapiler menyebabkan penurunan volume intravaskular dan curah jantung. Kendatipun tekanan arterial sistemik pada awalnya sering kali dapat dipertahankan mendekati nilai normal, namun penciutan terus menerus dari volume intravaskular akan mengarah pada hipotensi, penurunan perfusi perifer, dan asidosis jaringan. Kehilangan cairan intravaskular pada luka bakar yang luasnya melampaui 20 hingga 25% dari permukaan tubuh terlalu cepat untuk dapat diatasi oleh koreksi parsial dari defisit cairan melalui perpindahan cairan intraselular. Mula-mula, peningkatan permeabilitas kapiler akan berakibat kehilangan volume plasma netto obligat. Dalam 24 jam kedua setelah luka bakar, permeabilitas kapiler kembali normal, dengan suatu peningkatan kecil netto dan volume plasma intravaskular.
Penggantian cairan yang terlepas dan jaringan yang terbakar adalah landasan dalam pengobatan dan pecegahan syok akibat luka bakar. Dengan resusitasi cairan kristaloid yang tepat selama 12 hingga 24 jam, curah jantung akan meningkat hingga tingkat di atas normal, mencerminkan awal gejala dari suatu hipermetabolisme pasca luka bakar. Data seperti ini menekankan pentingnya pengukuran curah jantung di atas penentuan volume darah sebagai suatu petunjuk terhadap keberhasilan resusitasi. Meskipun pada mulanya pasien mungkin hipotensi dan mengalami hipovolemia, namun tekanan darah sering kali akan tetap di antara rendah hingga rendah-normal dengan perfusi sistemik yang memadai setelah resusitasi dimulai. Penelitian eksperimental telah memperlihatkan bahwa ginjal merupakan organ dengan perfusi yang paling buruk setelah suatu luka bakar. Dengan resusitasi, maka aliran darah ginjal akan kembali normal hanya setelah perfusi pada organ-organ viseral lainnya kembali pulih. Dengan demikian, suatu perfusi ginjal yang adekuat dapat diartikan sebagai aliran darah yang memadai pula untuk organ- organ lain. Urin yang keluar merupakan merupakan petunjuk yang paling tepat dan mudah untuk memantau resusitasi.
Daftar Pustaka
Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah

Fisiologi resusitasi cairan

 

Cedera termal pada kulit bermanifestasi sebagai nekrosis koagulasi dengan trombosis mikrovaskular pada daerah-daerah yang kerusakannya paling dalam. Jaringan di sekitarnya biasanya mengalami luka bakar yang tidak terlalu parah, dengan stasis dan hiperemia yang batas-batasnya tidak jelas. Daerah yang berpotensi dapat diselamatkan ini, mendapat perfusi dari mikrosirkulasi yang mengalami kerusakan. Jika pasien dengan luka bakar yang luas tidak segera mendapat resusitasi cairan yang tepat, maka dapat terjadi syok akibat luka bakar dan bagian dari luka bakal yang cedera namun masih hidup, dan akan berlanjut menjadi nekrosis. Kinin, prostanoid, histamin, dan radikal oksigen tampaknya berperan penting dalam menentukan keparahan dari cedera jaringan. Ibuprofen dapat menyelamatkan pembuluh darah kulit dan mengurangi edema yang timbul dini setelah luka bakar.

Resusitasi cairan sangat memperkuat terbentuknya edema pada jaringan, baik yang mengalami luka bakar ataupun tidak. Edema ini tidaklah akan selalu berakibat buruk; jika pulih tidak akan meninggalkan kerusakan permanen. Cairan yang keluar dan ruangan intravaskular sangat menyerupai plasma, baik dalam hal kandungan proteinnya maupun elektrolit. Baxter dan Shires telah menunjukkan bahwa kehilangan natrium adalah sekitar 0,5-0,6 meq/kg berat badan/% permukaan tubuh yang terbakar. Hemolisis akut ditimbulkan oleh kerusakan langsung pada sel darah merah akibat panas. Aktivasi komplemen akibat luka bakar dan selanjutnya produksi radikal oksigen oleh neutrofil meningkatkan fragilitas osmotik dari sel darah merah, dan menyebabkan hemolisis berlangsung selama beberapa hari setelah cedera termal. Dalam 24 jam pertama setelah cedera, nilai hematokrit setinggi 70% relatif sering ditemukan pada orang muda yang sebelumnya sehat.
Peningkatan dalam permeabilitas kapiler menyebabkan penurunan volume intravaskular dan curah jantung. Kendatipun tekanan arterial sistemik pada awalnya sering kali dapat dipertahankan mendekati nilai normal, namun penciutan terus menerus dari volume intravaskular akan mengarah pada hipotensi, penurunan perfusi perifer, dan asidosis jaringan. Kehilangan cairan intravaskular pada luka bakar yang luasnya melampaui 20 hingga 25% dari permukaan tubuh terlalu cepat untuk dapat diatasi oleh koreksi parsial dari defisit cairan melalui perpindahan cairan intraselular. Mula-mula, peningkatan permeabilitas kapiler akan berakibat kehilangan volume plasma netto obligat. Dalam 24 jam kedua setelah luka bakar, permeabilitas kapiler kembali normal, dengan suatu peningkatan kecil netto dan volume plasma intravaskular.
Penggantian cairan yang terlepas dan jaringan yang terbakar adalah landasan dalam pengobatan dan pecegahan syok akibat luka bakar. Dengan resusitasi cairan kristaloid yang tepat selama 12 hingga 24 jam, curah jantung akan meningkat hingga tingkat di atas normal, mencerminkan awal gejala dari suatu hipermetabolisme pasca luka bakar. Data seperti ini menekankan pentingnya pengukuran curah jantung di atas penentuan volume darah sebagai suatu petunjuk terhadap keberhasilan resusitasi. Meskipun pada mulanya pasien mungkin hipotensi dan mengalami hipovolemia, namun tekanan darah sering kali akan tetap di antara rendah hingga rendah-normal dengan perfusi sistemik yang memadai setelah resusitasi dimulai. Penelitian eksperimental telah memperlihatkan bahwa ginjal merupakan organ dengan perfusi yang paling buruk setelah suatu luka bakar. Dengan resusitasi, maka aliran darah ginjal akan kembali normal hanya setelah perfusi pada organ-organ viseral lainnya kembali pulih. Dengan demikian, suatu perfusi ginjal yang adekuat dapat diartikan sebagai aliran darah yang memadai pula untuk organ- organ lain. Urin yang keluar merupakan merupakan petunjuk yang paling tepat dan mudah untuk memantau resusitasi.
Daftar Pustaka
Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah

Teknik Stimulasi Otak

Bagaimana caranya agar kita bisa melatih otak supaya bekerja secara maksimal? Program pelatihan seperti apa yang cocok untuk otak? Bukan hanya mobil loh yang harus dirawat. Tidak banyak orang yang mengerti cara melatih otak agar cadangan kognitifnya terus berkembang dan menjadi semakin kuat. Anak muda zaman sekarang kurang termotivasi untuk bertahan hidup. Memilih cara yang mudah untuk mendapatkan sesuatu, itu yang menjadi perhatian mereka. Padahal sebenarnya proses dalam meraih gol itulah yang menjadi pembelajaran baik untuk otak kita. Hal seperti ini juga akan memperpanjang usia kita. Jadi sebenarnya, manfaat melatih otak itu banyak sekali untuk kesehatan tubuh serta perkembangan mental manusia.Manusia perlu belajar secara berkelanjutan tanpa henti untuk bisa mendapatkan cadangan kognitif yang cukup dalam otak. Apa arti cadangan kognitif itu? Segala sesuatu yang menstimulasi otak secara mental dalam hidup manusia, bisa melalui pekerjaan, pendidikan, atau hobi. Memberikan stimulasi pada otak dapat merangsang otak untuk membentuk sel neuron baru sehingga akan memberikan penampilan otak yang lebih balk dan menurunkan risikoterkena penyakitAlzheimer. Penelitian menyebutkan, orang yang melakukan latihan pada otot otak selama hidupnya memiliki risiko yang lebih sedikit terkena Alzheimer.
Lebih jauh lagi, dengan munculnya teknologi MRI di bidang kedokteran, memberikan kesempatan pada para ahli untuk meneliti lebih banyak tentang otak yang sehat. Penemuan penting yang didapat dari penelitian ini menyebutkan, bahwa otak kita seperti plastik (artinya dia bukan hanya membentuk neuron baru tetapi juga bisa mengganti strukturnya), bagian otak yang berdekatan dengan dahi merupakan bagian yang paling mirip seperti plastik. Bagian ini mengendalikan fungsi-fungsi utama seperti perhatian, merencanakan masa depan dan perilaku dalam mencapai gol. Bagian ini sangat kritis menghadapi situasi berbeda dan mampu beradaptasi dengan cepat. Kita harus melatih bagian ini lebih balk dengan belajar dan menguasai hal baru dalam hidup.
Bagian otak depan atau lobus frontal sangat lembut, dia menunggu hingga usia 20 tahunan untuk menjadi benar-benar dewasa. Dia juga menjadi bagian dari otak yang pertama kali akan mengalami penurunan fungsi, biasanya di usia paruh baya. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk merawat otak kita terutama lobus frontal? Tentunya kita harus fokus pada tiang utama penyangga otak yaitu latihan fisik, diet yang seimbang dan latihan otak. Pengendalian stres juga penting karena stres telah menunjukkan bukti dapat membunuh neuron dan mengurangi pembentukan sel baru.
Di bawah ini, beberapa tips dan teknik yang dapat membantu untuk meningkatkan kemampuan otak kita.
1. Bermain video games
Aksi dalam video games dapat meningkatkan koordinasi tangan dan mengembangkan keahlian penglihatan visual karena dilakukan secara terus-menerus.
2. Menguatkan memori
Memori adalah bagian mental yang terpenting. Menguatkan memori atau daya ingat merupakan komponen penting dalam mengurangi risiko penyakit Alzheimer.
3. Mempelajari kata baru setiap hari
Mempelajari kata baru bukan hanya memperkaya pemahaman akan dunia, tetapi juga berkaitan dengan pusat bahasa dalam otak dan otak bagian depan di mana fungsi dan penilaian dilakukan.
4. Latihan mengeja
Mengeja akan mendorong kita untuk melihat secara mental kata yang akan diucapkan atau dituliskan. Latihan seperti ini melibatkan beberapa bagian dan sirkuit dalam otak.
5. Awasi mood, imajinasi, dan bicara pada diri sendiri Jika kita sedang kesal atau berada dalam situasi yang mengecewakan, ganti kegiatan otak kita dengan hal yang tidak melibatkan perhatian kita.
6. Kurangi stres dengan aktivitas fisik
Otak yang sehat didapatkan dari tubuh yang sehat secara keseluruhan. Kita dapat mengurangi efek berbahaya dari stres dengan berolahraga setiap hari. Tapi kita harus memilih jenis olahraga yang disenangi karena dengan begitu tidak akan menjadi suatu kewajiban yang melelahkan tetapi justru menyenangkan. Hanya berjalan kaki juga cukup bagus. Berjalan kaki dua kilometer setiap minggu akan mengurangi risiko terkena Dementia sebanyak 50%.
7. Tidur siang
Tidur siang akan meningkatkan kemampuan memori, sama halnya seperti saat kita tidur di malam hari. Jadi, saat kita sudah melakukan pelbagai kegiatan di pagi hari, luangkan waktu untuk tidur siang sekitar 20 menit setelah makan, saat itu merupakan waktu yang tepat untuk terlelap karena tubuh lelah setelah beraktivitas di pagi hari.
8. Menyelesaikan puzzle
Dengan mengerjakan puzzle, bagian berbeda dalam otak akan terlatih, sesuai dengan jenis puzzle yang kita mainkan. Teka-teki menantang bagian memori dan bahasa sedangkan jigsaw puzzle melatih otak bagian belakang. Jika kita telah ahli cobalah kerjakan puzzle tanpa harus menuliskannya tetapi bayangkan dalam pikiran, hal ini akan mengasah otak menjadi lebih tajam.
9. Gunakan tanganmu
Beberapa orang selain musisi dan ahli bedah mampu bekerja dengan menggunakan tangannya dan mengendalikannya dengan baik. Kegiatan yang melibatkan gerakan jari akan menguatkan otak kita seperti merajut, membangun model bangunan atau memainkan alat musik.
10. Perhatikan sensor kita
Salah satu penyebab umum dari sifat pelupa dan ingatan yang Iemah adalah tidak memberikan perhatian yang cukup.
Daftar Pustaka
Melatih Otak setajam Silet Oleh Astri Novia

Pengenalan Sistem Endokrin

Sistem endokrin meliputi suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri dari sejumlah kelenjar penghasil zat yang dinamakan hormon. Kelenjar ini dinamakan “endokrin” karena tidak mempunyai saluran keluar untuk zat yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkannya itu dalam jumlah sedikit pada saat dibutuhkan dan dialirkan ke organ sasaran melalui pembuluh darah bercampur dengan darah. Kelenjar yang produknya disalurkan melalui pembuluh khusus (seperti kelenjar ludah) dinamakan kelenjar eksokrin.

Kelenjar endokrin (endocrine gland) terdiri dan (1) kelenjar hipofise atau pituitari (hypophysis or pituitary gland) yang terletak di dalam rongga kepala dekat dasar otak; (2) kelenjar tiroid (thyroid gland) atau kelenjar gondok yang terletak di leher bagian depan; (3) kelenjar paratiroid (parathyroid gland) dekat kelenjar tiroid; (4) kelenjar suprarenal (suprarenal gland) yang terletak di kutub atas ginjal kiri-kanan; (5) pulau Langerhans (islets of langerhans) di dalam jaringan kelenjar pankreas; (6) kelenjar kelamin (gonad) laki di testis dan indung telur pada wanita. Placenta dapat juga dikategorikan sebagai kelenjar endokrin karena menghasilkan hormon.
Daftar Pustaka
Anatomi Tubuh Manusia Oleh Daniel S. Wibowo

Sabtu, 19 Maret 2011

5 manfaat membaca buku bagi kesehatan

Kebanyakan orang begitu sibuk dengan kehidupannya sehingga tidak cukup waktu untuk membaca buku, orang lebih senang menonton film, televisi atau bermain komputer. Padahal membaca tidak hanya memperkaya wawasan tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan.

Rajin membaca dapat membuat orang kaya akan wawasan dan informasi. Selain itu, membaca untuk bermanfaat untuk otak dan kesehatan.


Setidaknya ada 5 manfaat membaca untuk kesehatan, seperti dilansir Lifemojo, Sabtu (12/3/2011), yaitu:


1. Melatih otak

Salah satu keuntungan membaca buku adalah sebagai latihan otak dan pikiran. Membaca dapat membantu menjaga otak agar selalu menjalankan fungsinya secara sempurna. Saat membaca, otak dituntut unutk berpikir lebih sehingga dapat membuat orang semakin cerdas. Tapi untuk latihan otak ini, membaca buku harus dilakukan secara rutin.

2. Meringankan stres

Stres adalah faktor risiko dari beberapa penyakit berbahaya. keindahan bahasa dalam tulisan dapat memiliki kemampuan untuk menenangkan dan mengurangi stres, terutama membaca buku fiksi sebelum tidur. Cara ini dianggap bagu untuk mengatasi stres.

3. Menjauhkan risiko penyakit Alzheimer

Membaca benar-benar dapat langsung meningkatkan daya ikat otak. Ketika membaca, otak akan dirangsang dan stimulasi (rangsangan) secara teratur dapat membantu mencegah gangguan pada otak termasuk penyakit Alzheimer.

Penelitian telah menunjukkan bahwa latihan otak seperti membaca buku atau majalah, bermain teka-teki silang, Sudoku, dan lain-lain dapat menunda atau mencegah kehilangan memori. Menurut para peneliti, kegiatan ini merangsang sel-sel otak dapat terhubung dan tumbuh.


4. Mengembangkan pola tidur yang sehat

Bila Anda terbiasa membaca buku sebelum tidur, maka itu bertindak sebagai alarm bagi tubuh dan mengirimkan sinyal bahwa sudah waktunya tidur. Ini akan membantu Anda mendapatkan tidur nyenyak dan bangun segar di pagi hari.

5. Meningkatkan konsentrasi

Orang yang suka membaca akan memiliki otak yang lebih konsentrasi dan fokus. Karena fokus ini, pembaca akan memiliki kemampuan untuk memiliki perhatian penuh dan praktis dalam kehidupan. Ini juga mengembangkan keterampilan objektivitas dan pengambilan keputusan.

Jadi jangan hanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton televisi atau bermain game komputer, tetapi juga luangkan waktu untuk membaca buku. Kebiasaan baik itu tidak hanya akan menyegarkan pikiran tetapi juga memberi manfaat untuk kesehatan dan kehidupan.

Mengapa kita batuk, cegukan, mendengkur dan menguap ?

*Batuk
Sama seperti bersin, ketika Anda batuk bertujuan untuk mengusir zat berbahaya dalam tubuh Anda. Jika bersin terjadi karena ada partikel asing di hidung, maka batuk terjadi karena ada partikel atau zat asing di dalam paru-paru atau tenggorokan. Tujuannya untuk membersihkan paru-paru dari zat yang berbahaya saat saluran pernapasan mulai terganggu. Batuk dapat pula menjadi upaya yang disengaja untuk membersihkan tenggorokan. Batuk juga bisa menyebarkan kuman yang menyebabkan penyakit. Karena itu, sebaiknya ketika batuk, Anda menutupi mulut Anda.

*Cegukan
Cegukan terjadi di luar kemauan atau tidak dapat dikontrol. Cegukan merupakan pengambilan udara secara mendadak yang disebabkan karena kontraksi diafragma secara tidak teratur. Penyebabnya karena gangguan organ-organ tubuh dekat diafragma. Kejang ini menarik udara dari paru-paru melalui laring, membentur epiglotis, menyebabkan pita suara bergetar. Oleh karena itu, akan menimbulkan suara ’hik’ saat Anda cegukan.

*Mendengkur
Saat tidur, beberapa orang mendengkur atau mengorok. Suara kasar saat Anda tidur ini biasanya disebabkan karena bernapas melalui mulut. Jaringan lembut pada langit-langit mulut dekat tenggorokan bergetar karena udara melewatinya saat Anda bernapas melalui mulut. Selain itu, bibir, pipi, dan lubang hidung Anda juga ikut bergetar. Posisi yang umum menyebabkan mendengkur adalah tidur terlentang. Hal ini karena mulut cenderung menganga dan lidah menghalangi saluran pernapasan. Salah satu solusinya adalah dengan mencoba tidur miring.

*Menguap
Saat mengantuk, Anda akan menguap. Mengapa Anda menguap? Karena paru-paru Anda kurang mendapat oksigen. Dengan mengambil nafas dalam-dalam di luar kemauan terjadi sebagai respon alami akibat tertutupnya paru-paru oleh karbondioksida atau kekurangan oksigen.

Yang juga menarik, yaitu menguap diduga sebagai kebiasaan menular. Jika Anda melihat atau mendengar orang lain menguap, yang sering terjadi adalah Anda ikut-ikutan menguap. Fenomena ini masih menjadi misteri bagi banyak ilmuwan.

Mengapa kita bersin ?

Bersin merupakan aliran udara yang hebat melalui mulut dan hidung. Ini terjadi di luar kemauan. Biasanya bersin terjadi karena ada partikel pengganggu dalam hidung Anda. Ujung-ujung saraf di dalam hidung merangsang Anda bersin untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut.

Penyebab lain adalah udara dingin atau sakit flu. Pada saat sakit flu, banyak partikel asing di dalam hidung Anda sehingga memaksa hidung merangsang bersin.

Yang perlu Anda tahu tentang bersin yaitu kecepatan udara saat Anda bersin mencapai 166 kilometer per jam. Lalu saat bersih Anda akan mengeluarkan sampai 100.000 butiran kecil lendir dan mikro organisme. Itu sebabnya, saat bersin sebaiknya Anda menutupi hidung dan mulut Anda karena dapat membahayakan orang lain.

makalah perbedaan komunikasi antar daerah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Komunikasi antar daerah terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam keba­nyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non­verbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.
Pentingnya komunikasi antar daerah dikarenakan interaksi sosial keseharian ki­ta itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing se­ring mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. 
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan peng­alaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de­ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bah­wa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khu­sus­nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cen­derung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki peng­alaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antar daerah ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat.

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bentuk komunikasi antar daerah dan antar budaya
2.      Untuk mengetahui factor-faktor yang mengakibatkan komunikasi tidak berjalaan dengan lancar
3.      Untuk mengetahui perbedaan komunikasin di setiap daerah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Komunikasi antar Budaya
Adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya.
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.      Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan
2.      Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama
3.      Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita

B.     Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya
Secara umum komunikasi antarbudaya terdiri dari atas empat variasi, yaitu interracial communication: interpretasi dan berbagi makna antara orang-orang yang berasal dari ras yang berbeda, interethnic communication: interaksi antara orang-orang yang berasal dari etnis yang berbeda, international communication: komunikasi antara orang-orang yang mewakili negara yang berbeda, dan intracultural communication: interaksi antara anggota dari kelompok ras dan etnis yang berbeda (sub-culture) tetapi berasal dari induk budaya yang sama. Komunikasi antarbudaya juga bermakna ”communication between people who live in the same country but come from different cultural background.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan bentuk komunikasi multidemensi dari interaksi antara orang-orang yang berasal dari negara, etnis, ras, dan kelompok budaya lainnya yang berbeda.
Elemen komunikasi antarbudaya berasal dari elemen dasar komunikasi secara umum. Proses komunikasi yang dijalankan manusia terdiri atas tujuh elemen dasar, yaitu komunikator, pesan, komunikan, umpan balik, media, konteks, dan gangguan.
a.      Komunikator
Komunikator adalah pihak yang pertama kali berperan untuk menyampaikan pesan kepada pihak tertentu. Komunikator ini tentu saja mempunyai latar belakang etnis, ras, agama, atau kebudayaan tertentu. Latar belakang ini akan mempengaruhi prilaku berkomunikasi seseorang sehingga ketika proses komunikasi melibatkan komunikator dan komunikan yang berasal daru etnik yang berbeda, maka akan terjadi persepsi yang berbeda pula. Persepsi seseorang dalam berkomunikasi secara makro dipengaruhi oleh karateristik antarbudaya yang ditentukan oleh nilai dan norma yang menujuk ke arah mikro yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kepercayaan, minat dan kebiasaan. Faktor lain yang dapat yang juga berperan penting dalam keberhasilan proses komunikasi antarabudaya adalah kemampuan berbahasa, baik itu bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Seorang komunikator perlu memahami bagaimana memilih kosa kata tertentu yang tidak menyinggung perasaan komunikan yang berbeda etnis dengan komunikator. Pemahaman aksen dan bahasa tubuh juga akan berperan penting untuk membangun makna dalam komunikasi antarbudaya.

b. Pesan
Pesan adalah ide, gagasan atau perasaan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan untuk mencapai pemahaman. Dalam proses komunikasi antarbudaya, pesan berperan dalam membangun hubungan antara komunikator dan komunikan. Dengan kata lain, pesan mempertemukan garis persinggungan antara penyampai pesan dan penerima pesan yang berasal dari budaya yang berbeda. Pesan yang disampaikan oleh komunikan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang bisa dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal. Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator telah mempertimbangakan kepentingan komunikan, maka pesan itu akan dapat diterima secara baik sehingga komunikasi antarbudaya yang dilakukan akan mencapai pemahaman. Sebaliknya, jika pesan yang disampaikan tidak memperhatikan aspek perbedaan etnik, maka komunikasi yang dijalankan itu justru akan menghasilkan konflik atau permusuhan. Dalam komunikasi antarbudaya, pencapaian persepahaman antara etnik berbeda yang terlibat dalam komunikasi merupakan tujuan utama. Kegagalan membangun persepahaman akan mengakibatkan hubungan multietnik yang tidak harmonis dan bahkan dapat menimbulkan perpecahan.
c. Komunikan
Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan adalah pihak yang mencari makna atau menginterpretasikan pesan yang disampaikan untuk mencapai pemahaman. Dalam melakukan proses pemaknaan ini, komunikan sebagai seorang individu maupun kelompok akan ditentukan oleh persepsi mereka terhadap pesan yang disampaikan. Persepsi akan ditentukan pula oleh kondisi khas yang dimiliki oleh komunikan seperti pengalaman, kepercayaan dan faktor lainnya. Dalam komunikasi antarbudaya persepsi merupakan cara yang digunakan orang yang berasal dari etnik tertentu untuk memahami atau memberikan makna terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan dirinya dan hubungannya dengan etnik lain. Proses persepsi dan interpretasi bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya sebab proses ini dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas diri yang dimiliki oleh orang yang melakukan persepsi dan interpretasi terhadap suatu pesan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi adalah pengalaman, sikap dan prilaku, kemampuan berkomunikasi, konsep diri, kebudayaan, harapan, perasaan, dan keluarga.


C.    Dimensi Ragam Budaya
Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya an­tara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyak­nya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.

D.    Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan
Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyum­an, sentuhan, kontak mata, jarak yang de­kat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antar­personal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara ha­ngat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih ba­nyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.

E.      Individualisme dan Kolektivisme
Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua­nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Ti­mur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Ting­kat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempu­nyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif ku­rang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan ku­rang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai uta­ma dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk meng­ungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

F.      Feminin dan Maskulin
Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas femi­nin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada varia­si yang cukup banyak dari ne­gara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976).
Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan bu­daya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita dalam pe­kerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas te­rendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Ame­rika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30.

G.     Kesenjangan Kekuasaan
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mem­punyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang pa­ling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih ba­nyak belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001). Se­nyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau meng­hasilkan hubungan sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-IKK tinggi.

H.     Konteks Tinggi dan Rendah
Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “di­atur, eksplisit, dan disampai­kan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pe­san implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, se­nyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situa­si atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa dida­patkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer me­nun­tut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupa­kan budaya-bu­daya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eks­plisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bah­wa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan po­kok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).
            Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari bu­daya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang ku­rang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak da­pat merasakan komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari budaya KT meng­harap­kan lebih banyak komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR.



BAB III
PENUTUP

Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau menging­kari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa Setiap daerah mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara setiap daerah itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, ti­dak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena keba­nyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.
Dari sinilah tercermin bahwa karakteristik masing-masing budaya mempengaruhi proses berlangsungnya interaksi atau komunikasi. Karakter masing-masing budaya yang berbeda yang akan hidup berdampingan akan memberikan out put yang berbeda pula. Ketika komunikasi antar budaya berlangsung, persepsi masing-masing individu yang memiliki berbeda pemikiran, menimbulkan respon balik yang beragam. Ketika satu orang memberi stimulus atau informasi, belum tentu semua orang bisa memahami maksudnya yang ingin disampaikannya sama dengan apa yang ia pikirkan.
Ada stimulus yang disampaikan dengan hal-hal yang unik yaitu dengan bahasa-bahasa nonverbal, hal ini bisa disampaikan dengan adanya reaksi yang nampak dari mimik wajah seseorang yang sedang berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Jika seseorang berbicara walaupun dengan nada bercanda, akan tetapi kita bisa mlihat apa yang ingin ia sampaikan apah haanya senda gurau semata taukah serius, kita bisa mengetahuinya dengan ekspresi wajah yang ditampilkannya. Kadang bahasa nonverbal sesorang adalah hal yang sebenarnya ingin disampaikannya. Karena seseorang bisa saja mereka yansa pembicaraan, akan tetapi ia tidak akan bisa mereka yasa bahasa tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Depar­temen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday
Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press
Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications
Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan


Perbedaan Komunikasi Budaya antar Daerah

Makalah

Diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sosial dan Politik




Di susun oleh
Anggota kelompok V


STIKES  Payung Negeri
SI Keperawatan
2010-2011



Kata Pengantar

            Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melilmahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah  ini yang berjudul “Perbedaan Komunikasi Budaya antar Daerah”
            Penulisan karya tulis ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah Sosial dan Politik ( SOSPOL ). Adapun tujuan lainnya adalah berupaya untuk menambah pengetahuan kepada penulis dan para pembaca.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah mungkin selesai tanpa adanya bantuan dan bimbingan secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Penulis berdo’a semoga Allah membalas semua kebaikan, bantuan, dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.
            Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan informasi, ilmu, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
Pekanbaru, Oktober 2010

                                                                                                                       Penulis




Daftar Isi

Kata Pengantar……………………………………………………………………………….i
Bab I Pendahuluan
a.      Latar Belakang…………………………………………………………………………
b.      Tujuan Makalah………………………………………………………………………..
Bab II Pembahasan
a.      Komunikasi antar budaya…………………………………………………………….
b.      Dasar-dasar komunikasi antar budaya………………………………………………
c.       Dimensi ragam budaya………………………………………………………………..
d.      Keakraban dan kebebasan mengungkapkan perasaan……………………………..
e.       Individualisme dan kolektivisme………………………………………………………
f.       Feminin dan maskulin………………………………………………………………….
g.      Kesenjangan kekuasaan……………………………………………………………….
h.      Konteks tinggi dan rendah……………………………………………………………
Bab III Penutup
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………..