Minggu, 20 Maret 2011

Fisiologi resusitasi cairan

 

Cedera termal pada kulit bermanifestasi sebagai nekrosis koagulasi dengan trombosis mikrovaskular pada daerah-daerah yang kerusakannya paling dalam. Jaringan di sekitarnya biasanya mengalami luka bakar yang tidak terlalu parah, dengan stasis dan hiperemia yang batas-batasnya tidak jelas. Daerah yang berpotensi dapat diselamatkan ini, mendapat perfusi dari mikrosirkulasi yang mengalami kerusakan. Jika pasien dengan luka bakar yang luas tidak segera mendapat resusitasi cairan yang tepat, maka dapat terjadi syok akibat luka bakar dan bagian dari luka bakal yang cedera namun masih hidup, dan akan berlanjut menjadi nekrosis. Kinin, prostanoid, histamin, dan radikal oksigen tampaknya berperan penting dalam menentukan keparahan dari cedera jaringan. Ibuprofen dapat menyelamatkan pembuluh darah kulit dan mengurangi edema yang timbul dini setelah luka bakar.

Resusitasi cairan sangat memperkuat terbentuknya edema pada jaringan, baik yang mengalami luka bakar ataupun tidak. Edema ini tidaklah akan selalu berakibat buruk; jika pulih tidak akan meninggalkan kerusakan permanen. Cairan yang keluar dan ruangan intravaskular sangat menyerupai plasma, baik dalam hal kandungan proteinnya maupun elektrolit. Baxter dan Shires telah menunjukkan bahwa kehilangan natrium adalah sekitar 0,5-0,6 meq/kg berat badan/% permukaan tubuh yang terbakar. Hemolisis akut ditimbulkan oleh kerusakan langsung pada sel darah merah akibat panas. Aktivasi komplemen akibat luka bakar dan selanjutnya produksi radikal oksigen oleh neutrofil meningkatkan fragilitas osmotik dari sel darah merah, dan menyebabkan hemolisis berlangsung selama beberapa hari setelah cedera termal. Dalam 24 jam pertama setelah cedera, nilai hematokrit setinggi 70% relatif sering ditemukan pada orang muda yang sebelumnya sehat.
Peningkatan dalam permeabilitas kapiler menyebabkan penurunan volume intravaskular dan curah jantung. Kendatipun tekanan arterial sistemik pada awalnya sering kali dapat dipertahankan mendekati nilai normal, namun penciutan terus menerus dari volume intravaskular akan mengarah pada hipotensi, penurunan perfusi perifer, dan asidosis jaringan. Kehilangan cairan intravaskular pada luka bakar yang luasnya melampaui 20 hingga 25% dari permukaan tubuh terlalu cepat untuk dapat diatasi oleh koreksi parsial dari defisit cairan melalui perpindahan cairan intraselular. Mula-mula, peningkatan permeabilitas kapiler akan berakibat kehilangan volume plasma netto obligat. Dalam 24 jam kedua setelah luka bakar, permeabilitas kapiler kembali normal, dengan suatu peningkatan kecil netto dan volume plasma intravaskular.
Penggantian cairan yang terlepas dan jaringan yang terbakar adalah landasan dalam pengobatan dan pecegahan syok akibat luka bakar. Dengan resusitasi cairan kristaloid yang tepat selama 12 hingga 24 jam, curah jantung akan meningkat hingga tingkat di atas normal, mencerminkan awal gejala dari suatu hipermetabolisme pasca luka bakar. Data seperti ini menekankan pentingnya pengukuran curah jantung di atas penentuan volume darah sebagai suatu petunjuk terhadap keberhasilan resusitasi. Meskipun pada mulanya pasien mungkin hipotensi dan mengalami hipovolemia, namun tekanan darah sering kali akan tetap di antara rendah hingga rendah-normal dengan perfusi sistemik yang memadai setelah resusitasi dimulai. Penelitian eksperimental telah memperlihatkan bahwa ginjal merupakan organ dengan perfusi yang paling buruk setelah suatu luka bakar. Dengan resusitasi, maka aliran darah ginjal akan kembali normal hanya setelah perfusi pada organ-organ viseral lainnya kembali pulih. Dengan demikian, suatu perfusi ginjal yang adekuat dapat diartikan sebagai aliran darah yang memadai pula untuk organ- organ lain. Urin yang keluar merupakan merupakan petunjuk yang paling tepat dan mudah untuk memantau resusitasi.
Daftar Pustaka
Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar